Untuk memperoleh kertas daluang (Broussonetia papyryfera Vent)
dibutuhkan bahan baku kulit kayu pohon daluang. Pohon ini merupakan
tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae.
Pohon yang tak punya bunga dan buah ini tumbuh di Baemah (Sumatera),
pedalaman Sulawesi hingga Pulau Seram, Garut (Jawa Barat), Purwokerto
(Jawa Tengah), Ponorogo (Jawa Timur), Pamekasan dan Sumenep (Pulau
Madura). Orang Sunda menyebutnya saeh. Orang Madura menyebutnya
dhalubang atau dhulubang, sedang orang Sumba menyebutnya kembala, dan orang Jawa (Solo dan sekitarnya)menyebutnya daluwang atau dluwang.
Dahulu, tumbuhan ini ditanam di sekitar masjid agar para santri mudah
mengambil dan membuat kertas sendiri untuk keperluan belajarnya.
Menurut K. Heyne (Peneliti Belanda) dalam buku Tumbuhan Berguna
Indonesia, pohon Daluang / Paper Mulberry diduga berasal dari negeri Cina. Namun bila
mencermati daerah persebarannya, terbukti tanaman ini asli indonesia
(tropis). Apalagi mempertimbangkan aspek pemanfaatannya yang telah
dikenal oleh masyarakat tradisional di nusantara sebagai bahan baku
kertas jaman kerajaan nusantara. Ada beberapa spesies tanaman yg berbeda
yang tersebar terutama yang terdapat di garut yang berbeda dengan di
ponorogo (jatim) atau daerah lainnya.
Selain itu, tumbuhan yang berkembang biak dengan akar rimpang atau
geragih ini sangat baik sebagai bahan baku pembuatan kain tradisional.
Menurut Heyne, pakaian kulit kayu ini pada masanya sangat digemari
masyarakat kita. Baik kaum perempuan maupun kaum adamnya. Terlebih
menjadi pakaian tidur, ia memberikan rasa teduh dan nyaman. Saat ini,
masih ada beberapa suku di pedalaman Kalimantan (Dayak), Sumatera (Kubu)
dan Sulawesi (Banggai) yang masih memproduksi dan memakai pakaian kulit
kayu.
Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal
ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa
naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di
tanah air.
Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk
menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci.
Di Bali, kertas Daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana,
untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga
sekarang.
Sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh arkeologi dan ahli sejarah
sastra kuno. Awal kertas Daluang ini dikenal berfungsi sebagai alat
Bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke 3 SM
ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa
Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu
hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari
masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul
nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara.
Kertas Daluang ini saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang
beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan
sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu.
Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas Daluang
ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu
syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben, yang disimpan di dalam “Kitir”
berbentuk kupu-kupu yang berfungsi simbol magis. Konon, “Kitir” itu
adalah medium pengantar arwah ke Nirwana.Selain itu juga terdapat
“Kajang” dengan bahan dasarnya Daluang ini. “Kajang” di bagi masyarakat
Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.
Daluang bagi masyarakat Pacitan, Jawa Tengah, kertas Daluang dibunakan
sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Kata “Dalu” berarti malam dan
“Wang” berarti orang. “Dalu” + ”Wang” = orang yang bekerja pada malam
hari. Mengapa demikian, karena proses pengerjaan kertas Daluang ini
dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari untuk menuliskan cerita
atau teks penting di jamannya. Pada masa kebudayaan Hindu di daerah
Kediri, Daluang digunakan untuk menuliskan cerita Panji untuk pergelaran
wayang beber. Kemudian pada jaman Keislaman di Nusantara, fungsi
Daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran atau
karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis,
Jawa Timur, bahwa kertas Daluang digunakan oleh para ulama dan santri
untuk menuliskan kitab-kitab.
BUTUH PENANGANAN SEGERA
Mang dadan dan Mang Bidin kakak beradik sebagai yang mewarisi budaya
Asli Tatar kerajaan sunda ini memberikan beberapa informasi yang
mendesak harus ditangani, tradisi pembuatan kertas daluang ini nyaris
ditelan masa dari bumi nusantara. Begitu pula dengan keberadaan pohon daluang asli garut. Setelah dilakukan penelusuran literatur dan tanya sana
sini, akhirnya ditemukan tradisi pembuatan kertas daluang dan masyarakat
pendukungnya. Mereka adalah warga kampung Tunggilis, Desa Cimanuk,
Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Meski tak langsung, mereka
disebut-sebut sebagai pewaris tradisi itu.
Pada tahun 1997 itu, keluarga ini menemukan sekitar 10 batang pohon daluang yang dimiliki pewaris tradisi ini. Mereka juga masih punya golok
khusus tebas, golok khusus potong, pisau kujang untuk kulit kayu daluang,tasbih batu 200 biji dan kitab yang diwarisi turun-temurun dan tiga
buah pameupeuh sebagai alat produksinya. Pameupeuh adalah sejenis alat
pemukul. Alat ini digunakaan ketika penyamakan kulit kayu. Terbuat dari
campuran logam kuningan dan tembaga yang dicor dengan panjang 10
sentimeter dan empat sentimeter.
Pada saat itu, mereka hampir tidak pernah membuat kertas daluang baik
untuk keperluan sendiri atau pun dipasarkan. Mereka hanya membuatnya
berdasar pesanan dan jumlahnya kecil.
Dalam pembuatan kertas daluang, sama sekali tak dipakai teknologi yang
njelimet. Ia dibuat oleh masyarakat biasa dengan teknologi dan peralatan
yang sangat sederhana. Proses pembuatannya dilakukan secara manual
dengan cara disamak, diperam dan dijemur di terik matahari.
Meski begitu kertas ini amat bijak sebagai salah satu contoh kekayaan
kearifan tradisional masyarakat nusantara terutama proses pembuatannya,
alat-alat, dan lainnya (tinta) sangat khas/berbeda dibandingkan dengan
daerah lain yang menghasilkan kertas pada jamannya, Yang hingga kini
jumlahnya tidak diketahui lagi.
Diketahui saat ini hanya ada dua daerah saja yang mampu menghasilkan
kertas daluang yaitu Ponorogo, diketahui saat ini daerah ponorogo
kehilangan pewarisnya dan jenis pohon saeh/daluang asli ponorogo turut
hilang. Dengan melestarikan daluang tidak semata melestarikan budaya,
sistem pengetahuan dan teknologi tradisional tetapi juga aset negara
yang hanya tersisa di kampung Tunggelis Garut.
Diketahui pula saat ini (13/5/2012) telah diadakan penanaman Tanaman Daluang / Paper Mulberry yang berada di dusun Kotakan, Bakalan, Rt 04 Rw 06, Polokarto Sukoharjo. Warga di desa tersebut telah menanam tanaman Daluang sebanyak 200 pohon sejak tahun 2011, yang dimotori oleh Bpk Joko Ngadimin, pemilik Sanggar "Sekar Jagad" di Polokarto. Nah bagi rekan rekan yang hendak mengembangkan tanaman daluang supaya tidak punah, silakan kunjungi desa tersebut dan bisa ketemu langsung dg Bpk Joko Ngadimin.
(survei langsung : Mang Deden, Mang Bidin, Aki Pelem, Aki Pedo)
Sumber: dari berbagai informasi