disarikan dari: H. UNUS SURIAWIRIA
ADA sejenis tanaman yang dianggap ”semiliar” karena pada umumnya hanya menjadi tanaman sambilan di pinggiran kebun, pingggiran pekarangan rumah atau di bawah naungan pohon besar seperti kelapa, sengon dan bahkan jengkol dan petai, serta sebelumnya belum ada kebun khusus. Walau begitu, umbi tanaman ini setiap saat selalu tersedia di pasar, bukan untuk dijadikan makanan-nyamian seperti halnya singkong, talas maupun ubi-jalar, tetapi umumnya akan menjadi pengisi syarat tujuh macam umbi-umbian pada saat selamatan tujuh-bulanan. Juga secara terbatas, kadang-kadang tersedia dalam bentuk tepung untuk pembuatan bubur ataupun kue-kue.
Inilah jenis makanan yang saat Indonesia dilanda krisis moneter dan ekonomi berkepanjangan sampai sekarang, mulai dimunculkan ke permukaan oleh para pejabat terkait, mulai dari Menteri Pangan dan Hortikultura, Menteri Pertanian, dan bahkan Menteri Perindag. Karena, tepung umbi tanaman ini akan dijadikan sebagai pengganti tepung terigu.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat (suku Sunda) menyebutnya patat sagu, kemudian irut, arut, garut, jelarut, dsb. Sedangkan orang Amerika, asal tanaman ini menyebutnya arrow-root. Karena menurut sejarahnya, asal tanaman ini dari kawasan Amerika-tropis, kemudian menyebar ke India, Srilangka, Filipina, dan Indonesia, sekarang dikebunkan secara luas di Filipina dan India.
Garut, irut, arus atau jelarut, besar kemungkinan berasal dari kata arrowroot karena umbi atau rimpang tanaman ini seperti anak panah, lancip, adalah maranta arundinacea, merupakan tanaman perdu dengan tinggi antara 40-60 cm, tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0 sampai 900 meter dpl serta yang paling baik pada ketinggian antara 60-90 m, dengan keadaan tanah lembab dan lingkungan terlindung di bawah pohon tinggi, misalnya kelapa, sengon bahkan jengkol, dan petai.
Sejak lama masyarakat mengenal garut sebagai tanaman penghasil atau rimpang yang dapat dijadikan panganan seperti halnya singkong, ubi jalar. Kemudian ada yang dijadikan tepung untuk membuat bubur, kue-kue, bahkan candil ataupun goyobod.
Bahkan, saat bedak tradisi yang terbuat dari ramuan beberapa umbi ataupun rimpang, misalnya bedak Saripohaci yang sangat populer di kawasan Priangan masih menjadi ”primadona” kosmetika tradisi, bahan baku tepungnya harus terbuat dari tepung garut.
Di kawasan Amerika sendiri, asal tanaman garut, orang Indian selalu menggunakan perasan akarnya sebagai obat luka, obat karena tusukan anak panah, dan bahkan obat luka karena gigitan serangga dan ular. Sedangkan di Filipina dan India, hancuran akar garut kemudian dijadikan bahan baku untuk pembuatan minuman beralkohol, seperti layaknya tuah dan brem di Indonesia atau sake di Jepang.
Di Indonesia sendiri khususnya di sepanjang kawasan Pulau Jawa, umbi garut banyak digunakan untuk makanan nyamian bersama bajigur atau bandrek (minuman tradisi masyarakat Sunda) atau dibuat keripik. Bahkan, sekarang keripik asal umbi garut mulai menjadi komoditas andalam perajin makanan ringan sekitar Garut, Tasik, dan Ciamis.
Seperti misalnya tepung umbi garut. Dari banyak uji coba pemanfaatan secara luas, pada akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk, sifat, dan karakteristik tepung tersebut tidak jauh berbeda dengan tepung terigu. Dengan demikian, jangan heran kalau masyarakat Jawa Barat misalnya, khususnya yang bertempat tinggal sekitar Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang bahkan Cianjur Bogor, mengenal umbi garut sebagai bahab baku pembuatan tepung yang umum dijual di pasar. Sehingga, sebelum terigu memasuki pasar tradisi secara luas, terlebih dahulu masyarakat mengenal tepung garut sebagai tepung untuk membuat kue-kue, lapis, serta sederet makanan lainnya.
Sekarang pada saat harga terigu melambung tinggi karena subsidi untuk pembelian impor biji gandum sebagai bahan baku tepung terigu mulai dibatasi dan akan dihapus mulai Oktober 1998, kehadiran tepung garut mulai dimunculkan lagi dengan predikat terhormat sebagai pengganti tepung terigu.
Pemerintah Indonesia walau dengan berat sekali harus menarik semua subsidi terhadap impor biji gan dum yang akibatnya harga banyak makanan hasil olahan tepung terigu akan naik seperti halnya mi instan, kue, dan roti, tetapi kalau dilihat jumlah subsidi per tahun sekira Rp 3,4 triliun dari seluruh jumlah devisa impor sekira Rp 8,1 triliun maka keputusan tersebut dinilai sangat tepat untuk masa kini. Karena kalau saja uang subsidi terhadap impor biji gandum kemudian dialihkan menjadi subsidi terhadap beras misalnya, manfaatnya akan lebih banyak, lebih luas terhadap masyarakat yang mayoritas ”pengguna” nasi.
Bahwa kemudian harga mi instan ataupun hasil olahan terigu lainnya akan menjadi mahal, keputusannya diserahkan kepada masyarakat terbatas yang sudah telanjur menyenangi produk olahan tepung terigu tersebut. Oleh karenanya, tidak heran kalau keputusan pemerintah untuk menghentikan semua subsidi terhadap impor biji gandum, disambut oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai keputusan yang penuh kebijakan mengingat uang sebesar Rp 3,4 triliun bukan sedikit.
Kendala utama di dalam budi daya tanaman garut ini adalah masalah bibit yang pada umumnya berasal dari tunas umbi rimpang, serta untuk 1 ha diperlukan sekira 1,5 ton.
Sampai saat ini, tanaman garut ditanamkan sebagai tanaman tumpangsari (berada bersama dengan tanaman lain) atau sebagai tanaman semiliar di batas tanah-tanah miring, sudut pekarangan rumah, dsb., tetapi belum menjadi tanaman budi daya seperti layaknya singkong, ubi-jalar, talas, dsb.
Menurut Samsudin, petani tanaman garut di Malang yang juga Dirut PT Uaurduri Mitrasarana yang sudah membudidayakan tanaman garut seluas 150 ha, produksi per ha antara 12,5-30 ton, atau rata-rata 20 ton. Sehingga, dari produksi yang akan dicapai, diharapkan akan terkumpul sekira 3.000 ton umbi garut yang cukup untuk menjadi bibit pada lahan budi daya seluas 2.000 ha, walau baru memenuhi luas lahan 1/9-nya dari program pemerintah seluas 18.000 ha.
Dari hasil uji coba pembuatan tepung garut secara sederhana di beberapa daerah sekitar Priangan Timur (Garut, Ciamis, dan Tasik), urutan pembuatan tepung tersebut sesuai bagian terlampir ada (1) umbi hasil panen dipilih yang sehat dan utuh kemudian dibersihkan, (2) umbi terpilih kemudian dirajang/dikecilkan untuk mempermudah penggilingan, (3) Penggilingan dengan menggunakan ”batu giling” seperti halnya untuk menggiling rendaman kedelai bahan baku pembuatan tahu, (4) hasil penggilingan ditambah air hingga membentuk ”bubur” umbi garut, kemudian diperas dan disaring hingga menghasilkan larutan yang berisi ”tepung” dan ampas, (5) larutan hasil saringan kemudian diendapkan, hasil endapan dikeringkan hingga akhirnya menghasilkan tepung garut.
Dengan cara ini karena hasil tepungyang didapatkan antara 15-22%, sedangkan kalau melalui pemarutan antara 10-15% saja. Ampas umbi garut ternyata sangat baik sebagai campuran pembuatan pakan ternak, khususnya untuk sapi, kambing ataupun sejenisnya. Tepung umbi garut akan menjadi pengganti tepung terigu yang memiliki potensi tinggi, telah dibuktikan oleh perdagangan tepung tersebut yang dihasilkan oleh Filipina. Yaitu seperti yang dilakukan oleh para petani di Filipina, sebagai pemasok tepung umbi garut terbesar dunia maka 95% dari perdagangan tepung tersebut berasal dari negara ini dengan harga jual rata-rata sekira 200 dolar AS/ton atau hampir sama dengan harga tepung terigu.
Dengan demikian, sangat beralasan kalau Indonesia dengan lahan lingkungan dan iklim yang menunjang disertai sejarah lama penggunaan tepung tersebut sebagai bahan baku pembuatan kue dan makanan lainnya, akan dapat menjadi kawaan yang memiliki potensi tinggi seperti juga Filipina minimal untuk keperluan di dalam negeri sendiri.
Produk Siap Konsumsi
Untuk memenuhi kebutuhan tepung garut tersebut maka kami telah berhasil memproduksi tepung garut yang berwarna putih layaknya tepung terigu. Kami menyediakan tepung garut dalam partai besar & partai kecil. Harga tepung garut perkilogram adalah Rp 23.000,00. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim.untuk pemesanan silakan hubungi:
Bpk Dwias Anandita
d/a Ledokwareng Rt04 Rw35 Sardonoharjo - Ngaglik - Sleman
Yogyakarta 55581
telp : 0817-2853-440
e-mail : kusaambar@yahoo.com
no. NPWP : 69.524.798.1-542.000
Secara umum, masyarakat Jawa Barat (suku Sunda) menyebutnya patat sagu, kemudian irut, arut, garut, jelarut, dsb. Sedangkan orang Amerika, asal tanaman ini menyebutnya arrow-root. Karena menurut sejarahnya, asal tanaman ini dari kawasan Amerika-tropis, kemudian menyebar ke India, Srilangka, Filipina, dan Indonesia, sekarang dikebunkan secara luas di Filipina dan India.
Garut, irut, arus atau jelarut, besar kemungkinan berasal dari kata arrowroot karena umbi atau rimpang tanaman ini seperti anak panah, lancip, adalah maranta arundinacea, merupakan tanaman perdu dengan tinggi antara 40-60 cm, tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0 sampai 900 meter dpl serta yang paling baik pada ketinggian antara 60-90 m, dengan keadaan tanah lembab dan lingkungan terlindung di bawah pohon tinggi, misalnya kelapa, sengon bahkan jengkol, dan petai.
Sejak lama masyarakat mengenal garut sebagai tanaman penghasil atau rimpang yang dapat dijadikan panganan seperti halnya singkong, ubi jalar. Kemudian ada yang dijadikan tepung untuk membuat bubur, kue-kue, bahkan candil ataupun goyobod.
Bahkan, saat bedak tradisi yang terbuat dari ramuan beberapa umbi ataupun rimpang, misalnya bedak Saripohaci yang sangat populer di kawasan Priangan masih menjadi ”primadona” kosmetika tradisi, bahan baku tepungnya harus terbuat dari tepung garut.
Di kawasan Amerika sendiri, asal tanaman garut, orang Indian selalu menggunakan perasan akarnya sebagai obat luka, obat karena tusukan anak panah, dan bahkan obat luka karena gigitan serangga dan ular. Sedangkan di Filipina dan India, hancuran akar garut kemudian dijadikan bahan baku untuk pembuatan minuman beralkohol, seperti layaknya tuah dan brem di Indonesia atau sake di Jepang.
Di Indonesia sendiri khususnya di sepanjang kawasan Pulau Jawa, umbi garut banyak digunakan untuk makanan nyamian bersama bajigur atau bandrek (minuman tradisi masyarakat Sunda) atau dibuat keripik. Bahkan, sekarang keripik asal umbi garut mulai menjadi komoditas andalam perajin makanan ringan sekitar Garut, Tasik, dan Ciamis.
Mulai dikembangkan
Akibat krismon dan semakin terpuruknya perekonomian Indonesia, ternyata membawa hikmah terhadap banyak komodias Indonesia yang sebelumnya banyak disepelekan dan bahkan tidak pernah dilirik. Salah satunya umbi tanaman garut. Sejak lama tim ahli di lingkungan Balitbang Pertanian berupaya meningkatkan peran aktif umbi dan terutama tepung garut karena dari hasil penelitian dan pengembangan sejak lama, sudah positif memiliki potensi yang menguntungkan.Seperti misalnya tepung umbi garut. Dari banyak uji coba pemanfaatan secara luas, pada akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk, sifat, dan karakteristik tepung tersebut tidak jauh berbeda dengan tepung terigu. Dengan demikian, jangan heran kalau masyarakat Jawa Barat misalnya, khususnya yang bertempat tinggal sekitar Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang bahkan Cianjur Bogor, mengenal umbi garut sebagai bahab baku pembuatan tepung yang umum dijual di pasar. Sehingga, sebelum terigu memasuki pasar tradisi secara luas, terlebih dahulu masyarakat mengenal tepung garut sebagai tepung untuk membuat kue-kue, lapis, serta sederet makanan lainnya.
Sekarang pada saat harga terigu melambung tinggi karena subsidi untuk pembelian impor biji gandum sebagai bahan baku tepung terigu mulai dibatasi dan akan dihapus mulai Oktober 1998, kehadiran tepung garut mulai dimunculkan lagi dengan predikat terhormat sebagai pengganti tepung terigu.
Pemerintah Indonesia walau dengan berat sekali harus menarik semua subsidi terhadap impor biji gan dum yang akibatnya harga banyak makanan hasil olahan tepung terigu akan naik seperti halnya mi instan, kue, dan roti, tetapi kalau dilihat jumlah subsidi per tahun sekira Rp 3,4 triliun dari seluruh jumlah devisa impor sekira Rp 8,1 triliun maka keputusan tersebut dinilai sangat tepat untuk masa kini. Karena kalau saja uang subsidi terhadap impor biji gandum kemudian dialihkan menjadi subsidi terhadap beras misalnya, manfaatnya akan lebih banyak, lebih luas terhadap masyarakat yang mayoritas ”pengguna” nasi.
Bahwa kemudian harga mi instan ataupun hasil olahan terigu lainnya akan menjadi mahal, keputusannya diserahkan kepada masyarakat terbatas yang sudah telanjur menyenangi produk olahan tepung terigu tersebut. Oleh karenanya, tidak heran kalau keputusan pemerintah untuk menghentikan semua subsidi terhadap impor biji gandum, disambut oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai keputusan yang penuh kebijakan mengingat uang sebesar Rp 3,4 triliun bukan sedikit.
Budi daya sederhana
Perluasan tanaman gaut yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, meliputi areal yang luas, terutama untuk kawasan Jawa Barat (di Banjar, Ciamis, dan Tasik), kemudian Jawa Tengah (di Ajibarang, Purwokerto, Banyumas, dsb.) serta untuk kawasan Jawa Timur (di Malang, Blitar, Sampang sampai Pemalang) yang akan dimulai bulan Oktober 1998 seluas 18.000 ha.Kendala utama di dalam budi daya tanaman garut ini adalah masalah bibit yang pada umumnya berasal dari tunas umbi rimpang, serta untuk 1 ha diperlukan sekira 1,5 ton.
Sampai saat ini, tanaman garut ditanamkan sebagai tanaman tumpangsari (berada bersama dengan tanaman lain) atau sebagai tanaman semiliar di batas tanah-tanah miring, sudut pekarangan rumah, dsb., tetapi belum menjadi tanaman budi daya seperti layaknya singkong, ubi-jalar, talas, dsb.
Menurut Samsudin, petani tanaman garut di Malang yang juga Dirut PT Uaurduri Mitrasarana yang sudah membudidayakan tanaman garut seluas 150 ha, produksi per ha antara 12,5-30 ton, atau rata-rata 20 ton. Sehingga, dari produksi yang akan dicapai, diharapkan akan terkumpul sekira 3.000 ton umbi garut yang cukup untuk menjadi bibit pada lahan budi daya seluas 2.000 ha, walau baru memenuhi luas lahan 1/9-nya dari program pemerintah seluas 18.000 ha.
Dari hasil uji coba pembuatan tepung garut secara sederhana di beberapa daerah sekitar Priangan Timur (Garut, Ciamis, dan Tasik), urutan pembuatan tepung tersebut sesuai bagian terlampir ada (1) umbi hasil panen dipilih yang sehat dan utuh kemudian dibersihkan, (2) umbi terpilih kemudian dirajang/dikecilkan untuk mempermudah penggilingan, (3) Penggilingan dengan menggunakan ”batu giling” seperti halnya untuk menggiling rendaman kedelai bahan baku pembuatan tahu, (4) hasil penggilingan ditambah air hingga membentuk ”bubur” umbi garut, kemudian diperas dan disaring hingga menghasilkan larutan yang berisi ”tepung” dan ampas, (5) larutan hasil saringan kemudian diendapkan, hasil endapan dikeringkan hingga akhirnya menghasilkan tepung garut.
Dengan cara ini karena hasil tepungyang didapatkan antara 15-22%, sedangkan kalau melalui pemarutan antara 10-15% saja. Ampas umbi garut ternyata sangat baik sebagai campuran pembuatan pakan ternak, khususnya untuk sapi, kambing ataupun sejenisnya. Tepung umbi garut akan menjadi pengganti tepung terigu yang memiliki potensi tinggi, telah dibuktikan oleh perdagangan tepung tersebut yang dihasilkan oleh Filipina. Yaitu seperti yang dilakukan oleh para petani di Filipina, sebagai pemasok tepung umbi garut terbesar dunia maka 95% dari perdagangan tepung tersebut berasal dari negara ini dengan harga jual rata-rata sekira 200 dolar AS/ton atau hampir sama dengan harga tepung terigu.
Dengan demikian, sangat beralasan kalau Indonesia dengan lahan lingkungan dan iklim yang menunjang disertai sejarah lama penggunaan tepung tersebut sebagai bahan baku pembuatan kue dan makanan lainnya, akan dapat menjadi kawaan yang memiliki potensi tinggi seperti juga Filipina minimal untuk keperluan di dalam negeri sendiri.
Produk Siap Konsumsi
Untuk memenuhi kebutuhan tepung garut tersebut maka kami telah berhasil memproduksi tepung garut yang berwarna putih layaknya tepung terigu. Kami menyediakan tepung garut dalam partai besar & partai kecil. Harga tepung garut perkilogram adalah Rp 23.000,00. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim.untuk pemesanan silakan hubungi:
Bpk Dwias Anandita
d/a Ledokwareng Rt04 Rw35 Sardonoharjo - Ngaglik - Sleman
Yogyakarta 55581
telp : 0817-2853-440
e-mail : kusaambar@yahoo.com
no. NPWP : 69.524.798.1-542.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar